Minggu, 06 Maret 2016

MATAK AJI GINENG SAAT GERHANA MATAHARI

MATAK AJI GINENG SAAT GERHANA MATAHARI MATAK/MATEK dapat diartikan konsentrasi, AJI dari kata SAWIJI yang artinya menyatukan, GINENG dari kata maliGI meNENG, MALIGI atau mligi artinya hanya satu bab atau satu jalur, MENENG artinya diam. Maksutnya konsentrasi menyatukan cipta rasa karsa untuk satu tujuan mencapai tahapan diam. Sakjeroning NENG dumunung NING, sakjeroning NING dumunung NONG. NENG dari kata MENENG yang berarti diam, kalau sudah diam maka akan mengendap ke bawah, seperti pikiran segala macam harus diendapkan, disadari diteliti dengan cermat, dipilah satu persatu, satu demi satu, detik demi detik selalu di sadari. Setelah mencapai NENG maka akan menjadi NING dari kata WENING atau BENING yang berarti hening, contohnya gelas yang terisi air yang kotor, setelah gelasnya diam, maka airnya tidak beriak, didalam gelas airnya tidak mempunyai daya arus, maka kotoran akan mengendap ke bawah, riak dan arus air ini seperti jalannya pikiran, kerikil turun kebawah dulu, beban yang berat dan besar akan mengendap duluan, akan disusul kotoran-kotoran menengah sampai terkecil, semakin lama proses diam akan semakin jernih air didalamnya, hingga batasan air dan gelas sudah tidak nampak batasannya, kalau dilihat tidak ada atau kosong, tapi kalau dirasa ada isinya, ini karena saking jernihnya air. Setelah NING atau WENING akan NONG, NONG dari kata DUMUNONG, yang berarti semeleh atau bertempat ditempatnya, mudahnya kata menyadari semuanya, sudah tidak ada hambatan, ora samar ing ghaib, atau tidak samar dalam keghaibpan, karena sudah mencapai kejernihan. Terkenalnya dengan kata waskitho atau waskita. Aji gineng orang senang kesaktiannya, bisa ini dan itu, tapi ada lebih banyak manfaatnya dari cuma gur sakti, yang kalau tidak kuat mengendalikan keinginannya akan membelenggu hidupnya, jamanne wis seneng demonstrasi, setelah itu paling tidak dipuji, di sanjung, bahkan memperangkap orang. Sedangkan dibalik itu adalah proses pencapaian keselarasan, kesadaran dan keseimbangan totalitas. Karena ketika sudah tidak samar dengan ghaib maka akan menjadi peka, tajam pengklihatan batinnya. Aji gineng ini terkenalnya kalau sudah menyatu akan bisa mengetahui bahasa binatang. Menurut saya kok tidak cuma bahasa binatang, tapi bahasa tumbuhan bahasa angin, bahasa bumi, langit dan lainnya yang ada di alam, hanya keterbatan akal dan fikiran saja yang membekenggu dan membatasinya, dengan keterbatasan ini sering menimbulkan riak-riak masalah yang hanya berujung pada perdebatan pandangan karena cara memandang dengan sisi yang tidak sama, karena perjalan hidup selalu berbeda walaupun akan menemukan persamaan-persamaan pendapat karena sudah menemukan titik yang mirip atau mendekati persamaan, jadi rasa dipengaruhi perjalanan pikiran dalam penjelajahan ruang dan waktu. Setelah rasa menjadi peka, angin yang berjalan terasa, deburan ombak terasa, derasnya arus terasa, panas dan dinginnya siang dan malam juga terasa. Seperti halnya nanti pas gerhana matahari, rasakan saja sensasi pemotongan medan magnet antara matahari dan bumi oleh bulan, lecutan, getaran, loncatan energy yang melompat-lompat, haris medan magnet yang terputus dan menyambung seperti halilintar yang menyambar tiada henti, mungkin tidak semua bisa melihat dan merasakan, karena membutuhkan kepekaan. Beda pendapat itu wajar karena pengalaman hidup juga berbeda, kenapa tidak mencoba untuk merasa, mungkin bisa akan terasa.....walaupun sekecil apapun..... Semua yang ada di puncak akan tenggelam, yang tenggelam akan bangkit dari kegelapan, semua yang terang selalu ada sisi gelapnya, yang gelap ada sisi terangnya. Ketika mencapai matahari total, toh tidak akan gelap gulita seratus persen, dipinggirnya akan banyak sinar yang terang, mungkin merasa sangat terang dan benderang, toh manusia selalu diikuti bayangannya yang selalu gelap, nyate wis gandengane urip yang keno pisah, terangnya setelah dapat penerangan di rasa dalam rasa bukan di rasa inderawi. Didalam gelappun kita akan ada penerangan, karena yang tidak terlihat oleh mata akan bangkit dan menjadi lebih peka dan bekerja maksimal. Indera perasa, pencium, pendengar dan lainnya. Boleh mau coba....kalau belum pernah makan gula tak akan merasa manis, belum makan garam tak akan tahu asin, kalau sudah makan semuanya tapi tak terasa apapun berarti sudah mati rasanya....jelas tidak peka sama sekali....

Jumat, 04 Maret 2016

AJI PANCA SONA

PANCA SONA

Panca itu lima, Sona bisa dikatakan emas. Aji Panca Sona menurut para ahli supranatural termasuk aji yang sangat sakti, dari Subali sampai Rahwana memilikinya. Badan terbelah, tangan putus atau apapun itu ketika menginjak bumi, maka akan cepat pulih dengan sendirinya.
Kita berfikir dengan cara yang berbeda, tapi melihat dengan sisi yang lain, bukan kesaktiannya tapi melihat dengan kesadaran diri.
Toh betapapun saktinya, sang pemilik akan mati juga.
Melihat sesuatu tidak dengan sudut lima mata arah angin, atau lima unsur. Akan tetapi melihat dengan kebulatan pemahaman secara utuh, tidak dengan ukuran sudut tertentu. Inilah yang saya maksut melihat, memahami, mengetahui dan melakukan tahu betul sebab musabab dan akibatnya.
Ketika orang sudah diambang kesombongan akan kemampuan diri, bisa dari kekayaan, ilmu pengetahuan, pangkat derajat atau apapun, seakan orang berdiri tanpa pijakan, mengambang di awang-awang, setelah mengambang disinilah banyak kelemahan. Mudah goyang juga mudah jatuh terhempas dengan hebat, ketika orang dalam puncak kemampuan diri, kadang hilang kontrol akan dirinya, disanjung, diiming imingngi yang menggiurkan, akan mudah terpengaruh dan terperosok, karena berkurang atau hilangnya kesadaran untuk berfikir secara jernih dan utuh. Kalau disebut lupa diri, lupa dia berpijak dimana, dimana bumi di injak disitu langit harus di junjung, jadi semua butuh keseimbangan, ketika hilang keseimbangan maka akan mudah oleng.
Pancasona mengajarkan selalu kembali ke bumi, atau kembali ke kesadaran diri untuk mencapai proses penyeimbangan. Jadi intinya bukan kesaktian, tapi kesadaran diri, kalau sadar akan lebih terkendali, jalan menjadi kebih terang, sekti tanpo aji, mandi tanpo mantra, ngluruk tanpo wadyo bolo. Ora gumunan, ora kagetan, ora kesedihan, ora kesenengen, jadi tidak heranan, tidak kagetan, tidak sedih berlarut larut, tidak terlalu senang tanpa batas. Jadi diajarkan kita untuk selalu menyadari dimana, kemana, kenapa, mau apa, yang intinya Pancasona mengajarkan kita selalu untuk mencapai kesadaran dan keseimbangan.